Kamis, 08 November 2018



Leave


Satu sayatan! Ya, aku hanya butuh satu sayatan pisau di tanganku. Lalu, biarlah tubuhhku jatuh saat kesadaranku mulai tak ada. Kurasa tubuhku akan hancur jika terjatuh dari tempatku berdiri sekarang. Lantai 28 gedung yang sedang dalam pembangunan. Aku memandang untuk yang kesekian kalinya ke bawah. Menerka  apakah tempatku berdiri masih kurang tinggi atau sudah bisa membuatku mati.
Huh, kurasa ini sudah cukup. Aku berdiri di ujung, tapak kakiku sudah tidak semuanya menginjak beton gedung, setengahnya sudah melayang.
Aku mengambil sebuah pisau kecil yang baru  kubeli di sebuah minimarket. Sebenarnya cukup mencurigakan, dan aku melihat ekspresi itu di wajah penjaga kasir minimarket tadi. Jelas saja, seorang cewek keluar malam hanya untuk membeli sebuah pisau? Untuk apa?
Tentu saja untuk mengakhiri hidupku! Ya! Malam ini semuanya akan kuakhiri! tidak ada kehidupan lagi, ini malam terakhir!
“Putri...!” Sebuah suara tiba-tiba memanggilku dari belakang. Aku sedikit kaget, tapi mencoba untuk biasa saja. Aku tak tahu itu siapa, dan aku tak mau melihat ke belakang.
“Putri..!!!” Sekali lagi dia meneriakkan namaku, kini dengan intonasi yang lebih berat.
Aku menghela nafas panjang, mencoba bersabar, lalu melihat ke belakang.
Rio? Kenapa malam-malam dia ada di sini?
Aku membalikkan pandanganku. Semua harus kulakukan dengan cepat, sebelum Rio mencegahku.
Dengan sekuat tenaga, kugoreskan pisau di tangan kiriku. Kupastikan agar nadiku terpotong.
Darah segar mengalir, tak beberapa lama, tubuhku mulai oleng. Pisau ditangan kananku sudah terjatuh mendahuluiku. Hal terakhir yang kuingat, Rio meneriakkan namaku sekali lagi dan tubuhku terhuyung, jatuh.
***

Aku membuka mataku perlahan. Pandanganku kabur, kepalaku sedikit sakit, dan tangan kiriku ngilu. Hah? Tangan kiriku ngilu? Aku melihat tanganku, sudah dibalut sesuatu berwarna putih. Apa yang terjadi? Apa aku belum mati?
Aku melihat ke kanan. Seorang cowok duduk di kursi dan membelakangiku, sedang melakukan sesuatu.  Aku mencoba mengeluarkan suara, memberi isyarat agar ia melihatku. Dia membalikkan badan, dan.. lagi-lagi Rio?! Huh!
Rio kaget melihatku.
“Put, kamu gila ya.. sejak kapan kamu berpikir buat ngelakuin hal kayak gitu?” Rio menatapku aneh, aku membalasnya dengan tatapan sinis.
“Eh.. kamu bisa nggak sih nggak marah-marah kayak gitu?” Aku membuang pandangan dari Rio.
“Oh.. sori, Put,” Rio menarik kursinya, lalu duduk kembali.
Aku mengangkat kepala dan badanku, mencoba duduk. Kujulurkan kakiku ke bawah, dan dengan hati-hati kupindahkan tangan kiriku.
“Rio. tadi malam kamu nyelamatin aku?” Aku masih memandangnya dengan sinis, dia mendorong kursinya ke belakang.
“Tadi malam, Put? Kamu aja udah nggak sadar tiga hari, darah kamu yang hilang banyak banget,” Rio menjawab dengan intonasi datar.
Tiga hari? Dan selama tiga hari dia nungguin aku di sini?
“Nggak mungkin aku tinggalin kamu di sini sendirian,” Rio menjawab ekspresi bingungku.
Aku heran, aku baru mengenal Rio satu bulan, tapi kenapa dia bertindak sudah seperti saudaraku?
“Kenapa kamu nggak biarin aku mati aja?” Kini aku yang memandangnya dengan aneh.
“Tolong jangan ngelakuin itu lagi, Put!”
“Kenapa?” Aku menatapnya, menunggu jawaban darinya. Rio juga menatapku, tapi dia tidak menjawab.
“Nggak akan ada yang peduli kalau aku mati. Aku udah muak sama hidup aku, aku capek hidup kayak gini!. Aku hidup sendiri, orang tuaku udah nggak ada, kamu kira hidup kayak gitu enak? Lebih baik aku mati nyusul mereka!”
“Put, dua minggu kamu nggak masuk sekolah, kamu kira aku nggak khawatirin kamu?”
Aku kaget. Apa maksud Rio?
“Nggak ada yang nggak peduli sama kamu Put. Kamu aja yang selalu nutup diri dari mereka. Mau sampai kapan sih, kamu bersikap cuek sama orang-orang yang sebenarnya peduli sama kamu?”
Aku diam, memikirkan kata-kata Rio.
“Hmm, kita ngomongin itu nanti aja. Oh ya, kata dokter kalau kamu udah siuman, kamu boleh pulang. Mau aku antarin?” Rio menawarkan. Aku mengangguk. Aku nggak mungkin pulang sendiri dengan keadaan kayak gini.
Pelan-pelan aku turun dari ranjang. Rio hendak menolong, tapi aku lebih dulu menepis tangannya, “Aku bisa sendiri!”
“Yang kamu bilang tadi itu beneran?” Aku akhirnya mengeluarkan suara, setelah lama kami hanya diam.
“Yang mana?” Rio menjawab sambil terus melihat ke depan, mengemudikan mobilnya.
Aku menghembuskan nafas, tidak menjawab..
“Hmm, terserah kamu mau percaya atau nggak, Put. yang jelas di sekolah orang heboh nyariin kamu. Orang-orang pada nanya kamu kemana, tapi gak ada yang tau.”
“Buat apa mereka nyariin aku?”
“Kan aku udah bilang, mereka tu peduli sama kamu. Kamunya aja yang cuek.”
Aku diam lagi, tidak mau melanjutkan percakapan.
“Rumah kamu yang mana?” Rio memperlambat mobilnya, aku menujukkan jalan rumahku.
“Ini rumah kamu?” Rio bertanya saat aku menyuruhnya berhenti di depan sebuah rumah. Aku hanya mengangguk.
“Kamu sendirian di rumah segedek ini?”
“Kan aku udah bilang, aku hidup sendiri.” Aku menjawab, meniru gaya bicara Rio tadi, Rio hanya tersenyum.
Aku membuka pintu mobil. langsung keluar, dan hendak membuka pagar rumah. Rio menurunkan kaca mobilnya,
“Put, kamu yakin bisa baik-baik aja?”
“Kamu nggak mungkin nemenin aku lagi kan?” Aku hampir tertawa melihat wajah Rio yang kelihatan bingung.
“Maksud aku, kamu kan bisa nginap di rumah temen kamu, atau aku suruh mereka nemenin kamu di sini? Itu tangan kamu kan masih belum sembuh.” Sekarang aku benar-benar tertawa, apa pula yang dipikirkan Rio sekarang?
“Kamu nggak usah sok perhatian, mending kamu pulang deh sekarang! Aku udah biasa sendiri, apapun yang terjadi.” Aku tersenyum, melambaikan tangan menyuruh Rio pergi, langsung masuk ke dalam rumah.
Aku tidak tau sampai kapan Rio menunggu di depan rumah.
***
Hari ini aku masuk sekolah, ingin membuktikan kata-kata Rio. Dia benar, semua orang menyambutku. Mereka bertanya aku kemana, aku hanya menjawab aku sakit, mereka percaya.
“Kenapa nggak ngasih kabar, Put?” Seseorang bertanya di tengah keramaian orang yang mendekatiku. Aku bahkan tidak tau namanya siapa.
Aku hanya tersenyum, dan semua pertanyaan lain hanya kutanggapi dengan senyum. Ada yang lebih penting dari itu sekarang. Mencari...
Tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Murid-murid yang berkumpul di dekatku langsung bubar, bergegas ke kelas masing-masing. Aku juga, untung saja aku tidak lupa dimana kelasku.
“Kamu nyari siapa?” Seseorang di sebelahku tiba-tiba bertanya. Aku berhenti memperhatikan seisi kelas. Aku menggeleng. Dia tidak bertanya lagi dan kembali mendengarkan guru di depan.
Saat istirahat semua orang mendatangiku lagi, bertanya pertanyaan yang sama. Aku bosan mendengarnya. Ya, kuakui mereka memang peduli dan khawatir sekali selama aku tidak masuk sekolah.
“Rio mana?” Aku berdiri, tidak sadar telah mengatakan sesuatu, lebih tepatnya bertanya.
“Kok kamu nanya Rio?” Entah siapa yang menjawab
“Iya dia mana?”
“Dia kan udah balik lagi, Put.”
“Balik? Maksudnya?” Aku tidak sabar menunggu jawaban mereka. Mereka saling lirik.
“Kamu kan tau, dia di sini karena ada tugas dari sekolahnya.”
“Aku gak tau!” Aku memotong kalimat orang di depanku, semua orang terdiam.
Sekarang aku tau situasinya. Seseorang berbaik hati menjelaskan semuanya padaku. Ternyata Rio bukan murid satu sekolah denganku. Dia murid studi banding dari luar kota. Dia di sini selama satu bulan lebih, dan kemarin ternyata hari terakhir dia di sini.
Kemarin aku memilih tidak masuk sekolah dan hanya tidur seharian di rumah.  
Kenapa secepat itu? Aku bahkan belum sempat mengatakan terima kasih. Aku hanya termenung sepanjang sisa pelajaran.
“Kenapa harus pergi….?!!!,” Aku berteriak sambil menendang sebuah kaleng minuman di pinggir jalan. Orang-orang yang mendengar melihatku. Aku berjalan lagi, meninggalkan wajah-wajah bingung mereka.
Aku mempercepat langkah kakiku, tidak sabar ingin menuju rumah, membanting semua barang yang bisa kubanting. Aku membuka pagar rumah, dan menutupnya kembali dengan kasar. Tiba-tiba langkah kakiku terhenti, ada sesuatu di depan pintu rumahku.
Sebuah boneka besar, setinggi pinggang. Di sampingnya ada surat. Aku membukanya.
Hai Put, kamu baik-baik aja kan? Kok kemaren gak masuk sekolah? Tangan kamu masih sakit? Padahal aku nungguin kamu.  Hari ini kamu ke sekolah? Aku kira kamu masih gak sekolah, makanya aku datang ke rumah kamu. Eh, kamunya gak ada. Jadi aku nulis ini buat kamu.
Aku cuma mau pamit, waktuku di sini udah abis.
Maafin aku ya kalau kamu masih kesal sama aku, waktu itu aku nyelamatin kamu karena aku sayang sama kamu, sama kayak temen-temen lain yang juga sayang sama kamu. Put, kamu harus ingat, kamu gak pernah sendiri.
Semua temen-temen ada buat kamu kalau kamu butuh. Mulai sekarang kamu harus janji gak akan nutup diri dan cuek lagi ke mereka!
Oh ya, aku beliin boneka buat kamu. Buat nemenin kamu. Semoga kamu suka.
Aku pamit ya..
_Rio_
Aku menatap kosong boneka dan surat dari Rio. Aku tak tau harus sedih atau bahagia.

Leave Satu sayatan! Ya, aku hanya butuh satu sayatan pisau di tanganku. Lalu, biarlah tubuhhku jatuh saat kesadaranku mulai tak ada....