Leave
Satu sayatan! Ya, aku hanya butuh satu sayatan pisau di tanganku. Lalu, biarlah tubuhhku jatuh saat kesadaranku mulai tak ada. Kurasa tubuhku akan hancur jika terjatuh dari tempatku berdiri sekarang. Lantai 28 gedung yang sedang dalam pembangunan. Aku memandang untuk yang kesekian kalinya ke bawah. Menerka apakah tempatku berdiri masih kurang tinggi atau sudah bisa membuatku mati.
Huh,
kurasa ini sudah cukup. Aku berdiri di ujung, tapak kakiku sudah tidak semuanya
menginjak beton gedung, setengahnya sudah melayang.
Aku
mengambil sebuah pisau kecil yang baru
kubeli di sebuah minimarket. Sebenarnya cukup mencurigakan, dan aku
melihat ekspresi itu di wajah penjaga kasir minimarket tadi. Jelas saja,
seorang cewek keluar malam hanya untuk membeli sebuah pisau? Untuk apa?
Tentu
saja untuk mengakhiri hidupku! Ya! Malam ini semuanya akan kuakhiri! tidak ada
kehidupan lagi, ini malam terakhir!
“Putri...!”
Sebuah suara tiba-tiba memanggilku dari belakang. Aku sedikit kaget, tapi
mencoba untuk biasa saja. Aku tak tahu itu siapa, dan aku tak mau melihat ke
belakang.
“Putri..!!!”
Sekali lagi dia meneriakkan namaku, kini dengan intonasi yang lebih berat.
Aku
menghela nafas panjang, mencoba bersabar, lalu melihat ke belakang.
Rio?
Kenapa malam-malam dia ada di sini?
Aku
membalikkan pandanganku. Semua harus kulakukan dengan cepat, sebelum Rio mencegahku.
Dengan
sekuat tenaga, kugoreskan pisau di tangan kiriku. Kupastikan agar nadiku
terpotong.
Darah
segar mengalir, tak beberapa lama, tubuhku mulai oleng. Pisau ditangan kananku
sudah terjatuh mendahuluiku. Hal terakhir yang kuingat, Rio meneriakkan namaku
sekali lagi dan tubuhku terhuyung, jatuh.
***
Aku
membuka mataku perlahan. Pandanganku kabur, kepalaku sedikit sakit, dan tangan
kiriku ngilu. Hah? Tangan kiriku ngilu? Aku melihat tanganku, sudah dibalut
sesuatu berwarna putih. Apa yang terjadi? Apa aku belum mati?
Aku
melihat ke kanan. Seorang cowok duduk di kursi dan membelakangiku, sedang
melakukan sesuatu. Aku mencoba mengeluarkan
suara, memberi isyarat agar ia melihatku. Dia membalikkan badan, dan..
lagi-lagi Rio?! Huh!
Rio
kaget melihatku.
“Put,
kamu gila ya.. sejak kapan kamu berpikir buat ngelakuin hal kayak gitu?” Rio
menatapku aneh, aku membalasnya dengan tatapan sinis.
“Eh..
kamu bisa nggak sih nggak marah-marah kayak gitu?” Aku membuang pandangan dari
Rio.
“Oh..
sori, Put,” Rio menarik kursinya, lalu duduk kembali.
Aku
mengangkat kepala dan badanku, mencoba duduk. Kujulurkan kakiku ke bawah, dan
dengan hati-hati kupindahkan tangan kiriku.
“Rio.
tadi malam kamu nyelamatin aku?” Aku masih memandangnya dengan sinis, dia
mendorong kursinya ke belakang.
“Tadi
malam, Put? Kamu aja udah nggak sadar tiga hari, darah kamu yang hilang banyak
banget,” Rio menjawab dengan intonasi datar.
Tiga
hari? Dan selama tiga hari dia nungguin aku di sini?
“Nggak
mungkin aku tinggalin kamu di sini sendirian,” Rio menjawab ekspresi bingungku.
Aku
heran, aku baru mengenal Rio satu bulan, tapi kenapa dia bertindak sudah seperti
saudaraku?
“Kenapa
kamu nggak biarin aku mati aja?” Kini aku yang memandangnya dengan aneh.
“Tolong
jangan ngelakuin itu lagi, Put!”
“Kenapa?”
Aku menatapnya, menunggu jawaban darinya. Rio juga menatapku, tapi dia tidak
menjawab.
“Nggak
akan ada yang peduli kalau aku mati. Aku udah muak sama hidup aku, aku capek
hidup kayak gini!. Aku hidup sendiri, orang tuaku udah nggak ada, kamu kira
hidup kayak gitu enak? Lebih baik aku mati nyusul mereka!”
“Put,
dua minggu kamu nggak masuk sekolah, kamu kira aku nggak khawatirin kamu?”
Aku
kaget. Apa maksud Rio?
“Nggak
ada yang nggak peduli sama kamu Put. Kamu aja yang selalu nutup diri dari
mereka. Mau sampai kapan sih, kamu bersikap cuek sama orang-orang yang
sebenarnya peduli sama kamu?”
Aku
diam, memikirkan kata-kata Rio.
“Hmm,
kita ngomongin itu nanti aja. Oh ya, kata dokter kalau kamu udah siuman, kamu
boleh pulang. Mau aku antarin?” Rio menawarkan. Aku mengangguk. Aku nggak
mungkin pulang sendiri dengan keadaan kayak gini.
Pelan-pelan
aku turun dari ranjang. Rio hendak menolong, tapi aku lebih dulu menepis tangannya,
“Aku bisa sendiri!”
“Yang
kamu bilang tadi itu beneran?” Aku akhirnya mengeluarkan suara, setelah lama
kami hanya diam.
“Yang
mana?” Rio menjawab sambil terus melihat ke depan, mengemudikan mobilnya.
Aku
menghembuskan nafas, tidak menjawab..
“Hmm,
terserah kamu mau percaya atau nggak, Put. yang jelas di sekolah orang heboh
nyariin kamu. Orang-orang pada nanya kamu kemana, tapi gak ada yang tau.”
“Buat
apa mereka nyariin aku?”
“Kan
aku udah bilang, mereka tu peduli sama kamu. Kamunya aja yang cuek.”
Aku
diam lagi, tidak mau melanjutkan percakapan.
“Rumah
kamu yang mana?” Rio memperlambat mobilnya, aku menujukkan jalan rumahku.
“Ini
rumah kamu?” Rio bertanya saat aku menyuruhnya berhenti di depan sebuah rumah. Aku
hanya mengangguk.
“Kamu
sendirian di rumah segedek ini?”
“Kan
aku udah bilang, aku hidup sendiri.” Aku menjawab, meniru gaya bicara Rio tadi,
Rio hanya tersenyum.
Aku
membuka pintu mobil. langsung keluar, dan hendak membuka pagar rumah. Rio
menurunkan kaca mobilnya,
“Put,
kamu yakin bisa baik-baik aja?”
“Kamu
nggak mungkin nemenin aku lagi kan?” Aku hampir tertawa melihat wajah Rio yang
kelihatan bingung.
“Maksud
aku, kamu kan bisa nginap di rumah temen kamu, atau aku suruh mereka nemenin
kamu di sini? Itu tangan kamu kan masih belum sembuh.” Sekarang aku benar-benar
tertawa, apa pula yang dipikirkan Rio sekarang?
“Kamu
nggak usah sok perhatian, mending kamu pulang deh sekarang! Aku udah biasa
sendiri, apapun yang terjadi.” Aku tersenyum, melambaikan tangan menyuruh Rio
pergi, langsung masuk ke dalam rumah.
Aku
tidak tau sampai kapan Rio menunggu di depan rumah.
***
Hari
ini aku masuk sekolah, ingin membuktikan kata-kata Rio. Dia benar, semua orang menyambutku.
Mereka bertanya aku kemana, aku hanya menjawab aku sakit, mereka percaya.
“Kenapa
nggak ngasih kabar, Put?” Seseorang bertanya di tengah keramaian orang yang
mendekatiku. Aku bahkan tidak tau namanya siapa.
Aku
hanya tersenyum, dan semua pertanyaan lain hanya kutanggapi dengan senyum. Ada
yang lebih penting dari itu sekarang. Mencari...
Tiba-tiba
bel sekolah berbunyi. Murid-murid yang berkumpul di dekatku langsung bubar,
bergegas ke kelas masing-masing. Aku juga, untung saja aku tidak lupa dimana
kelasku.
“Kamu
nyari siapa?” Seseorang di sebelahku tiba-tiba bertanya. Aku berhenti
memperhatikan seisi kelas. Aku menggeleng. Dia tidak bertanya lagi dan kembali
mendengarkan guru di depan.
Saat
istirahat semua orang mendatangiku lagi, bertanya pertanyaan yang sama. Aku
bosan mendengarnya. Ya, kuakui mereka memang peduli dan khawatir sekali selama
aku tidak masuk sekolah.
“Rio
mana?” Aku berdiri, tidak sadar telah mengatakan sesuatu, lebih tepatnya
bertanya.
“Kok
kamu nanya Rio?” Entah siapa yang menjawab
“Iya
dia mana?”
“Dia
kan udah balik lagi, Put.”
“Balik?
Maksudnya?” Aku tidak sabar menunggu jawaban mereka. Mereka saling lirik.
“Kamu
kan tau, dia di sini karena ada tugas dari sekolahnya.”
“Aku
gak tau!” Aku memotong kalimat orang di depanku, semua orang terdiam.
Sekarang
aku tau situasinya. Seseorang berbaik hati menjelaskan semuanya padaku.
Ternyata Rio bukan murid satu sekolah denganku. Dia murid studi banding dari
luar kota. Dia di sini selama satu bulan lebih, dan kemarin ternyata hari
terakhir dia di sini.
Kemarin
aku memilih tidak masuk sekolah dan hanya tidur seharian di rumah.
Kenapa
secepat itu? Aku bahkan belum sempat mengatakan terima kasih. Aku hanya
termenung sepanjang sisa pelajaran.
“Kenapa
harus pergi….?!!!,” Aku berteriak sambil menendang sebuah kaleng minuman di
pinggir jalan. Orang-orang yang mendengar melihatku. Aku berjalan lagi,
meninggalkan wajah-wajah bingung mereka.
Aku
mempercepat langkah kakiku, tidak sabar ingin menuju rumah, membanting semua
barang yang bisa kubanting. Aku membuka pagar rumah, dan menutupnya kembali
dengan kasar. Tiba-tiba langkah kakiku terhenti, ada sesuatu di depan pintu
rumahku.
Sebuah
boneka besar, setinggi pinggang. Di sampingnya ada surat. Aku membukanya.
Hai Put, kamu baik-baik
aja kan? Kok kemaren gak masuk sekolah? Tangan kamu masih sakit? Padahal aku
nungguin kamu. Hari ini kamu ke sekolah?
Aku kira kamu masih gak sekolah, makanya aku datang ke rumah kamu. Eh, kamunya
gak ada. Jadi aku nulis ini buat kamu.
Aku cuma mau pamit,
waktuku di sini udah abis.
Maafin aku ya kalau
kamu masih kesal sama aku, waktu itu aku nyelamatin kamu karena aku sayang sama
kamu, sama kayak temen-temen lain yang juga sayang sama kamu. Put, kamu harus
ingat, kamu gak pernah sendiri.
Semua temen-temen ada
buat kamu kalau kamu butuh. Mulai sekarang kamu harus janji gak akan nutup diri
dan cuek lagi ke mereka!
Oh ya, aku beliin
boneka buat kamu. Buat nemenin kamu. Semoga kamu suka.
Aku pamit ya..
_Rio_
Aku
menatap kosong boneka dan surat dari Rio. Aku tak tau harus sedih atau bahagia.